Photobucket

Saturday, February 26, 2011

~kerna manisnya epal


indahnya penciptaan sebiji epal..
berbagai kisah-kisah syuhada ada padanya..

hayatilah seketika..
sebuah kisah yang telah berlaku kepada ayahanda imam besar hanafi yang mengajar asas-asas mazhab hanafi,iaitu
Tsabit bin Ibrahim...

Siang itu udara panas sekali.
Seorang anak muda berjalan sendiri,di tengah hutan gersang dengan pepohonan yang jarang.

Tampak tersongok-songgok berjalan.

Didera rasa haus dan kelaparan, ia mencuba untuk tetap meneruskan perjalanan. Ternyata di hutan itu ia menemukan sebuah sungai kecil berair yang cukup jernih.



“Alhamdulillah air ini cukup membantu menghilangkan dahagaku.” 

Dia berkata dalam hati seraya membasuh mukanya.

Namun setelah air mengalir membasahi kerongkongannya, perutnya pun berteriak minta diisi.

Sudah dua hari lebih ia belum makan.
Sepanjang melintasi perjalanan tadi, ia belum menemukan makanan apapun.
Jangankan haiwan liar, pohon yang berbuah pun tak dijumpainya.


Sambil duduk memandangi sungai, ia merenungi perjalanannya, atau lebih tepat pengembaraannya.

Telah beberapa waktu dilalui hidupnya untuk mengembara melintasi bumi Allah, sekadar mencari pengalaman hidup dan berguru pada mereka yang ditemuinya.

Tanpa sedar kerana lapar dan mengantuk yang mulai menyerang, dilihatnya satu dua benda yang mengapung di sungai kecil itu.
Dipandanginya lebih tepat.

Ya, itu adalah buah, seperti buah epal kerana merah warnanya. Bangkit dari duduknya, kemudian mencari sebatang dahan kayu untuk menarik buah itu ke tepi.

“Alhamdulillah, kalau rezeki tak akan kemana. Bismillahirrahmaanirrahiim….
hmm, lazat sekali epal ini. Serasa masih baru dipetik dari pohonnya.”


Gumamnya, setelah 3-4 gigitan yang telah ditelan, tiba-tiba anak muda itu berhenti mengunyah epal tersebut.

“Astaghfirullah, buah ini belum diketahui siapa tuannya, tapi aku makan tanpa izinnya.” 
Sejenak kemudian mengalir air matanya.Teresak dia.




“Buah ini belum halal bagiku. Duhai perutku maafkan diriku yang telah memberikan sesuatu yang belum jelas kehalalannya padamu.” Terdiam, buah epal yang sudah separuh dimakan itu kemudian dipandanginya, berpikir mencuba mengolah isi hatinya. Satu sikap yang jarang ditemui dewasa ini..



Zaman ini kejujuran begitu sukar ditemui.
Kejujuran sudah menjadi barang antik, jangankan untuk mengembalikan atau menghalalkan sepotong epal, wang berjuta mengelabui mata, sambil tidak ada niat untuk mengembalikannya. 

Atau untuk hal-hal “kecil” seperti menggunakan barang-barang pejabat untuk keperluan peribadi, sudahkah kita menghalalkannya?

“Aku harus menemukan sumber dari buah epal ini. Bertemu dengan pemiliknya dan meminta kepadanya untuk menghalalkan sebiji epal ini menjadi rezekiku.”
Bergegas ia mengemaskan bekalannya dan kemudian berjalan menyusuri sungai kecil itu untuk mencari sumber buah epal yang dimakannya.
Hingga sampailah ia di sebuah kebun kecil di pinggir sungai yang disusurinya itu.
Tampak ada beberapa ladang dengan beberapa jenis tanaman lain di situ, juga sebuah gudang kecil.
Sejurus kemudian terhenti pandangannya pada sebuah rumah yang sederhana namun cukup ceria yang menunjukkan penghuninya adalah orang yang rajin menjaganya.
Bergeraklah dia kesana dengan harapan cemas dapat bertemu tuannya.


Pemuda Tsabit sesekali membandingkan epal yang ada di tangannya dengan epal yang ada di sekitar kebun itu.
Tsabit yakin epal yang ada di tangannya itu berasal dari kebun itu.


“Assalamu’alaikum..”
“Wa alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh..”

Seorang lelaki separuh baya muncul dari balik pintu.
“Siapakah engkau wahai anak muda?”
“Nama saya Tsabit bin Ibrahim, apakah tuan ini pemilik rumah, juga kebun dan ladang di dekat rumah ini?”
“Betul, sayalah pemiliknya.”


“Apakah kebun epal itu juga milik tuan?”
“Aiwah, kebun itu milik saya, sekarang sedang berbuah.
“hmm, silakan masuk dan duduk dulu.”


“Begini tuan, saya adalah seorang pengembara, ketika dalam perjalanan, saya bertemu sebatang sungai kecil.
Kemudian saya melihat beberapa buah epal yang terapung.
Kerana lapar yang telah begitu mendera , saya ambil dan saya memakannya.
Saya baru sedar bahawa buah ini pasti berpunya, kemudian saya mengikuti sungai tadi dan menemui kebun dan rumah Tuan” 

jelasnya sambil memperlihatkan buah epal yang tinggal separuh.


“Maafkan saya, sudikah Tuan yang baik hati mengikhlaskan epal ini untukku.
Tanpa keikhlasan Tuan, niscaya buah epal ini akan menjadi barang haram yang saya makan, dan saya akan menyesalinya seumur hidup saya.
Terpateri rasanya dalam urat nadi saya,mengalir darah yang yang disusupi ketidakhalalan.
Bagaimana tanggungjawab saya terhadap keturunan saya, darah daging saya kelak??”

Pemuda ini kembali menyapu air mata yang menggenang..

Pemilik kebun itu adalah seorang yang alim dan soleh. Ia tahu, dalam pandangan agama tidak ada alasan untuk tidak mengizinkan seseorang makan epal yang ditemukan di pinggir sungai.


Ia merenung,
“Saya ingin mengetahui, apakah anak muda ini benar-benar seorang yang ‘alim, yang takut pada Allah kerana telah melakukan sesuatu yang ia tidak yakin apakah itu benar atau salah.
Atau ia hanya seorang pembual bermuka dua, yang hanya ingin menarik perhatiannya?” 


Untuk tujuan itu, akhirnya pemilik kebun memutuskan untuk menguji anak muda tersebut.

Setelah beberapa saat pemilik kebun epal berkata dengan mukanya yang masam.
“Anak muda, saya tidak boleh begitu mudah memaafkan kamu, ada syaratnya untuk itu.”

Tiba-tiba ia mendapat idea untuk menguji anak muda ini.

“Baiklah, tapi saya ajukan syaratnya.
Untuk epal yang telah engkau makan, engkau harus membayarnya dengan bekerja di kebunku selama 3 tahun tanpa bayaran.
Jadi engkau hanya akan mendapat makanan dan minuman sehari-hari sebagai upah bekerja itu.

Dan untuk itu, engkau boleh menduduki gudang di sebelah itu sebagai tempat rehatmu.”

Awalnya pemuda Tsabit bercadang untuk membayar epal itu, tetapi pemilik kebun epal tidak mengizinkannya. 
Tercengang pemuda itu mendengar ucapan si orang tua.
Lama ia terdiam..
 Akhirnya, setelah menghela nafas sambil beristighfar berkali-kali, ia mengangguk. Tidak ada pilihan lain.
Ia harus memperbaiki kesalahannya, agar dimaafkan


Tanpa berpikir panjang,segera ia bersetuju dengan keberatan syarat itu. Selama tiga tahun ia bekerja untuk pemilik kebun epal itu.



“Tuan, mungkin sudah ditakdirkan oleh Allah, ini sudah menjadi takdir saya. Kiranya Allah mengetahui apa yang terbaik bagi saya demi halalnya makanan yang masuk ke dalam tubuh saya ini.”

Akhirnya bekerjalah sang anak muda itu di kebun dan ladang lelaki tua. Dengan giat dijalani hidupnya di ladang dan kebun tersebut. Seraya selalu memohon keberkatan dalam amalan hidupnya.

Setelah 3 tahun berlalu, anak muda itu kemudian menemui pemilik kebun.
“Tuan, hari ini hari terakhir saya bekerja disini. Saya telah menyelesaikan janji saya memenuhi permintaan Tuan.”



Pemilik kebun epal sedar, bahawa anak muda ini, yang sedang berdiri di hadapannya, adalah orang yang luar biasa.

Anak muda ini telah memikat hatinya dan dia tidak akan membiarkan anak muda ini pergi begitu saja.

Pemilik kebun epal sejenak kemudian menjawab,
“Tunggu dulu anak muda, masa 3 tahun sudah engkau jalani, namun saya belum dapat memaafkan.
Syarat terakhir adalah engkau harus menikahi puteri kesayanganku.
Yang perlu engkau tahu bahawa dia tidak boleh menggerakkan tangannya,
tidak mampu berjalan, tidak boleh mendengar dan tidak boleh melihat.

Seandainya engkau menerimanya sebagai isteri, maka kuikhlaskan buah epal dari kebunku yang engkau makan itu.”

Jujur saja, menikahi seorang wanita cacat, adalah perkara yang sukar.
Persyaratan ini sangat berat bagi Tsabit.
Tapi hidup dengan mengabaikan suara hati nurani dan ketika kelak meninggal dan akan bertemu dengan Allah, tentunya lebih berat lagi.
Tsabit merenung, begitu aneh peranannya dalam kehidupan yang telah terjadi, hanya kerana menemukan epal yang sedang menerapung di tepi sungai, lalu menggigitnya tanpa berpikir panjang.

Sambil memandang tanah dengan wajah pucat lesi Tsabit berkata :

“Ya Allah, ujian apa lagi ini ya Allah, setiap lelaki tentu mengharapkan isteri yang sempurna, secantik bidadari, bermata jeli dengan hiasan mahkota permaisuri di kepalanya.
Tak terbayang betapa berat semua ini.”

Pilu doanya dalam hati.

Namun dia tidak ada pilihan kecuali,
“Ya, saya menerima syarat Tuan, dengan begitu,Tuan memaafkanlah saya.”
akhirnya lelaki yang teguh memegang janjinya itu mengangguk.

Di dalam setiap ujian, ada hikmah yang dapat meningkatkan ketakwaannya.

Beberapa hari kemudian, Tsabit menikah dengan anak perempuan si pemilik kebun epal secara sederhana.
Pada malam harinya, Tsabit pergi menuju kamar pengantin, di mana isteri telah menunggunya.
Di sana ia melihat seorang muslimah impian yang cantik jelita, yang tersenyum padanya.



Tsabit merasa takjub dan terpinga-pinga;

“Ya Allah, saya telah salah masuk kamar.”

Tsabit bergegas meninggalkan kamar dan sebentar kemudian ayah wanita itu datang menghampirinya.

“Maaf, saya tersalah kamar.”

Tsabit mencuba menjelaskan dengan wajah tersipu malu.

“Itu bukan kamar yang salah. Itulah anak perempuan saya.”

jawab si pemilik kebun epal yang sekarang telah menjadi mertuanya.

“Saya sudah menemuinya.

Tapi ia bukanlah anak perempuan seperti yang Tuan ceritakan pada saya. Ia sama sekali tidak cacat seperti yang Tuan katakan.”

Mertuanya berkata sambil tersenyum,

“Anakku! Anak perempuan saya lumpuh, karena ia sampai saat ini tidak pernah memasuki tempat hiburan manapun, ia buta, karena sampai sekarang tidak pernah memandang laki-laki yang tak dikenalnya, ia juga tuli, karena ia selama ini tak pernah mendengar fitnah dan hanya mematuhi Al Qur’an dan kata-kata Rasululllah Salallaahu Alaihi wa Sallam.”

Subhanallah sungguh kesolehan seorang muslimah sejati. Hal Ini juga sudah jarang ditemui. Dewasa ini kita begitu sukar menemukan seorang muslimah yang “buta, bisu, tuli, dan lumpuh” dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Mungkin ada, tetapi begitu sukar menemuinya. Mungkin, bagi seorang laki-laki yang menginginkan muslimah seperti ini, setidaknya harus memiliki kejujuran yang dimiliki oleh Tsabit.

Kerana alasan itulah sang pemilik kebun mempertimbangkan secara mendalam dan akhirnya mengambil keputusan menyerahkan anak perempuannya kepada Tsabit, kerana dia telah yakin bahawa Tsabit cocok mendampinginya. Kerana takut pada sari epal yang telah masuk ke dalam perutnya, setuju untuk bekerja selama 3 tahun hanya agar kesalahannya dimaafkan.

“Alhamdulillah, selama hidup saya tidak pernah makan sesuatu atau memberikan sesuatu yang dilarang Allah pada anak saya untuk dimakan. Anak perempuan saya baik dalam segala hal. Kalian adalah pasangan yang serasi.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta`ala memberkati kalian dan menganugerahkan kalian anak yang soleh.
Saya memberikan kebun epal ini sebagai hadiah pernikahan kalian.

Sekarang, pergilah menemui isterimu.”

Setelah mendengar kata-kata itu, Tsabit segera melupakan semua kegundahan di hatinya selama ini dan pergilah ia menemui pasangan hidupnya yang berharga dan sangat dikasihinya.

Dari pernikahan ini lahirlah Imam besar Abu Hanifah, yang mengajarkan dasar-dasar Mahzab Hanafi.

Tsabit telah memakan setengah buah epal, terus mencari pemiliknya meskipun harus menempuh perjalanan sehari semalam.
Kemudian dia sanggup untuk menikahi anak pemilik kebun meskipun dikatakan bahawa puterinya tersebut buta, tuli, bisu, dan lumpuh.
Sungguh semua itu dilakukan Tsabit demi kehalalan sebuah epal.
Namun kerana ‘kehalalan’ inilah dia beroleh berkah dari Allah.



dan sebuah lagi kisah tentang epal..

Wanita ibarat epal.
Epal yang tidak berkualiti..
amat mudah diperolehi kerana ia berguguran ditanah..
 Tapi epal yang tak mampu dibeli, ia berada di puncaknya..
Susah dipetik, susah di capai.
Terkadang epal itu risau, kenapalah diriku belum dipetik.
Lantas ia merendahkan martabatnya dan menggugurkan diri menyembah tanah. Sedangkan ia sebenarnya telah ALLAH jadikan begitu tinggi martabatnya. Sebenarnya..
epal itu terlalu tinggi... 
elok sifatnya... 
sehinggakan tiada siapa yg berani memetiknya.
Hanya pemuda yg benar2 hebat sahaja bisa memperolehinya.. 
Mungkin bukan di dunia...
tapi mungkin di akhirat?
Biarlah jodohnya bukan di dunia, asalkan cinta ILAHI mengiringinya...

tak semestinya dipetik di taman dunia.lebih bermakna bile ALLAH sendiri yang mengarahkan hamba yang disayanginya untuk memetiknya di taman akhirat kelak.

Sunday, February 20, 2011

~khas buatnya..





~ikhwah fillah..


jom beriman sebentar merenung kisah seorang sahabat..
sahabat yang berjalan dalam kotak 20han..


~tiba-tiba..
sahabatku itu dipanggil..
berdirinya seorang daie dan seorang ustazah dihadapannya..


keduanya tunduk  menghubungi Ilahi..

~kini aku menyapa,manakah pilihanmu?
dijawabnya..
bismillah, daie..

kerna walaupun ilmunya sentiasa dirasakan sedikit..
tapi pasti ilmunya diamalkan..

subhanallah,menangislah si daie..

di akhir kalam sahabatku..
dia memejamkan mata,sambil menarik nafas lega..
katanya..
kerana aku juga seorang daie..


p/s~
moga terus thsabat sahabatku.
insyaAllah,Allah sentiasa bersama langkahanmu..

kerna tarbiah bukanlah segala-galanya,tapi segala-galanya bermula dari tarbiah..

demi menggapai redha Ilahi..

Saturday, February 19, 2011

~kerana agamanya..

^_^

~merenung masalah umat yang kian ketara..
tambah-tambah di sekolahku dahulu..


~diri ini gagal menjadi daie satu ketika dahulu..
kini,izinkan dia bersuara kembali..


~percayalah.andai perkara ini dibendung..
nescaya kejayaan resultnya akan dicapai kembali..


kerna nusroh Allah hanya ada dalam agama..
yang hak itu tetap hak walaupun......





~mari beriman sebentar..
berkata tentang fitrah iaitu,cinta..

~sahabatku ditanya,kenapalah selalu berkata tentang cinta?
dijawabnya..


~cinta itu
 kekuatan..
cinta juga semanis keimanan..



~sifatnya invisible,tapi sentiasa dirasai..

~bercintalah keranaNya..

andai ia hilang,kita masih adaNya lagi..







~kembalikanlah kiblat cintamu..
kerna Dialah sang pemilik cinta..


biarlah si dia yang bersuara,fahamilah..




~dan yang terakhirnya,jadikanlah ia kerana Allah..



~ikhwah fillah..
inilah kesannya,di dunia..
dan redha ALLAH menanti di sana..
insyaAllah^_^